Konsumen adalah salah satu pengambil keputusan dalam
ekonomi yang bertujuan untuk memaksimumkan kepuasan dari berbagai barang/jasa
yang dikonsumsi. Kepuasan yang diperoleh konsumen dalam mengkonsumsi barang
atau jasa terlihat pada tingkat kepuasan subyektif atau nilai guna (ulititi). Teori
tingkah laku konsumen dapat dibedakan menjadi dua pendekatan yaitu pendekatan
nilai guna (utiliti) kardinal dan pendekatan nilai guna ordinal. Manfaat atau
kepuasan konsumen dapat dinyatakan secara kuantitatif dalam pendekatan nilai
guna kardinal. Teori kardinal menganggap bahwa kepuasan manusia dalam
mengkonsumsi dapat diukur dan membandingkannya dengan konsumsi barang lain yang
memberikan kepuasan sama (Moscati 2013).
Akan tetapi, sampai saat masih ada banyak pertentangan
apakah konsep kardinal ini tepat untuk menunjukkan perilaku konsumen dalam
mengambil keputusan demi memaksimumkan kepuasanya. Hal ini karena banyak yang
menganggap bahwa teori kardinal sangat sederhana dalam penggambaran sebuah
nilai guna/kepuasan. Teori ordinal dianggap lebih tepat dalam menunjukkan
perilaku konsumen dalam mengambil keputusan demi memaksimumkan kepuasan
(Bacelli dan Mongin 2016).
- Teori Nilai Guna (Utiliti)
Kepuasan
atau kenikmatan konsumen dari mengkonsumsi barang-barang disebut nilai guna
atau utiliti (Rahardja dan Manurung 2006). Semakin tinggi kepuasan maka semakin
tinggi nilai guna atau utilitinya. Nilai guna dibagi menjadi nilai guna total
dan nilai guna marjinal. Nilai guna total adalah jumlah seluruh kepuasan yang
diperoleh dari mengkonsumsi sejumlah barang tertentu. Nilai guna marjinal
adalah pertambahan atau pengurangan kepuasan akibat dari pertambahan atau
pengurangan penggunaan satu unit barang tertentu. Tingkat penggantian marginal
yang semakin berkurang ini akan berpengaruh pada bentuk kurva kepuasan sama
yaitu analisis perilaku konsumen dengan pendekatan ordinal (Beattie dan
LaFrance 2006).
Contoh nilai guna total dari mengkonsumsi 10 roti
meliputi seluruh kepuasan yang diperoleh dari memakan semua roti tersebut.
Nilai guna marjinal dari roti kesepuluh adalah pertambahan kepuasan yang
diperoleh dari memakan roti yang kesepuluh.
- Hipotesis Teori Nilai Guna
Tambahan nilai guna yang akan diperoleh seseorang dari
mengkonsumsi suatu barang akan menjadi sedikit apabila orang tersebut terus
menerus menambah konsumsi barang tersebut. Hipotesis tersebut dikenal sebagai
hukum nilai guna marjinal yang semakin menurun. Pertambahan yang terus menerus
dalam mengkonsumsi suatu barang tidak secara terus-menerus menambah kepuasan
yang dinikmati orang yang mengkonsumsinya. Pada akhirnya tambahan nilai guna
akan menjadi negatif. Apabila konsumsi barang tersebut ditambah lagi, maka
nilai guna total akan semakin negatif.
Misalnya sesorang memakan semangkok bakso. Kepuasan
bertambah tinggi ketika memakan bakso mangkok ke dua dan bertambah tinggi lagi
ketika memakan bakso mangkok ketiga. Akan tetapi kepuasan ini tidak berlangsung
lama. Pada mangkok ke empat, orang tersebut merasa bahwa yang diminumnya sudah
cukup banyak dan memuaskan. Jika ditawarkan mangkok ke lima, orang tersebut
akan menolak karena merasa lebih puas memakan empat mangkok bakso dibandingkan
memakan enam mangkok bakso. Dengan demikian, pada bakso mangkok ke lima,
tambahan nilai guna adalah negatif dan nilai guna total memakan enam mangkok
bakso akan lebih rendah dari nilai guna total memakan lima mangkok bakso.
Pada Tabel 1 ditunjukkan nilai guna total dan nilai guna
marjinal dari memakan buah apel. Tambahan nilai guna akan menjadi semakin
menurun apabila konsumsi terus-menerus. Berdasarkan tabel di atas, nilai guna
marjinal positif sampai dengan apel ke tujuh bernilai positif sehingga nilai
guna total terus menerus bertambah jumlahnya. Apel ke depalan menunjukkan nilai
marjinal yang negatif. Hal ini menunjukkan bahwa kepuasan paling maksimum
adalah ketika memakan apel yang ke tujuh. Tambahan-tambahan apel yang
selanjutnya akan mengurangi kepuasan. Kepuasan memakan 8, 9 atau 10 mangga akan
lebih rendah daripada memakan 7 mangga.
Tabel 1. Nilai guna total dan nilai guna marjinal dalam
angka
Jumlah buah apel yang dimakan
|
Nilai guna total
|
Nilai guna marjinal
|
0
|
0
|
-
|
1
|
30
|
30
|
2
|
50
|
20
|
3
|
64
|
14
|
4
|
75
|
11
|
5
|
83
|
8
|
6
|
87
|
4
|
7
|
90
|
3
|
8
|
88
|
-2
|
9
|
85
|
-3
|
10
|
80
|
-5
|
Pada Gambar 1, dapat dilihat bahwa kurva nilai guna total
(total utility / TU) bermula dari titik 0, yang menunjukkan waktu tidak
terdapat konsumsi sehingga nilai guna total adalah 0. Awalnya kurva nilai guna
total manik, yang manggambarkan jika jumlah konsumsi apel bertambah, nilai guna
total bertambah tinggi. Kurva nilai guna total mencapai titik maksimum di apel
ke tujuh. Setelah apel ke tujuh, kurva nilai guna total mulai menurun. Sementara
itu, kurva nilai guna marjinal (marginal utility / MU) turun dari kiri atas ke
kanan bawah. Hal ini menggambarkan hukum nilai guna marjinal yang semakin
menurun. Kurva nilai guna marjina memotong sumbu datar x sesudah jumlah apel
yang ke tujuh sehingga nilai guna marjinal adalah negatif (Gambar 2).
Gambar 1. Grafik nilai guna total
- Pemaksimuman
Nilai Guna
Dalam ekonomi, konsumen akan berusaha untuk memaksimumkan
kepuasannya. Dalam mengkonsumsi satu barang, tingkat kepuasan maksimum dicapai
ketika nilai guna total mencapai tingkat maksimum. Hal ini memberikan arti
bahwa setiap orang adalah pelaku maksimisasi kepuasan yang diharapkan (Tengstam
2012).
Akan tetapi, dalam keadaan dimana mengkonsumsi berbagai
macam barang dan harga-harga berbagai macam barang adalah berbeda, syarat yang
harus dipenuhi agar barang-barang yang dikonsumsikan memberikan nilai guna yang
maksimum adalah setiap rupiah (satuan mata uang) yang dikeluarkan untuk membeli
unit tambahan berbagai jenis barang akan memberikan nilai guna marjinal yang
sama besarnya (Sukirno 2014).
Contohnya konsumen mengkonsumsi dua jenis barang yaitu
makanan dan pakaian dengan harga makanan sebesar Rp10000 dan pakaian Rp100000.
Tambahan satu unit makanan akan memberikan nilai guna marjinal sebanyak 10 dan
tambahan satu unit pakaian memberikan nilai guna marjinal sebanyak 100. Jika
konsumen memiliki uang sebanyak Rp100000, uang tersebut dapat membeli 10 unit
tambahan makanan sehingga nilai guna marjinal yang diperoleh sebesar 10 x 10 =
100. Jika konsumen membeli pakaian, hanya satu unit dan nilai guna marjinalnya
sebesar 100. Apapun yang dipilih konsumen, kedua jenis barang tersebut
memberikan nilai guna marjinal yang sama besar. Dengan demikian:
- Seseorang akan memaksimumkan
nilia guna dari barang-barang yang dikonsumsikannya apabila perbandingan
nilai guna marjinal berbagai barang yang dikonsumsi tersebut adalah sama
dengan perbandingan harga barang-barang tersebut. Contohnya perbandingan
harga makanan dan pakaian adalah 10000:100000 atau 1:10 sama dengan perbandingan
nilai guna marjinalnya yaitu 10:100 atau 1:10.
- Seseorang akan memaksimumkan
nilai guna dari barang-barang yang dikonsumsikannya apabila nilai guna
marjinal untuk setiap rupiah (satuan mata uang) yang dikeluarkan adalah
sama untuk setiap barang yang dikonsumsikan. Contohnya nilai guna marjinal
per harga dari tambahan makanan adalah 10/10000 = 1/1000. Nilai guna
marjinal per harga dari tambahan pakaian adalah 100/100000 = 1/1000.
Syarat pemaksimuman nilai guna adalah sebagai berikut:
MU barang A = MU barang B = MU barang C
PA PB PC
Keterangan:
MU
adalah nilai guna marjinal
P
adalah harga barang yang dikonsumsi
- Teori Nilai
Guna dan Teori Permintaan
Sifat permintaan dapat diterangkan dengan menggunakan
teori nilai guna. Ada dua faktor yang menyebabkan permintaan suatu barang
berubah apabila harga barang itu mengalami perubahan, yaitu efek penggantian
dan efek pendapatan (Snyder dan Nicholson 2008).
Efek Penggantian
Perilaku konsumen menggambarkan
bahwa maksimisasi kepuasan dengan mengalokasikan anggaran antara konsumsi dua
barang yang tetap menjaga kepuasan tetap sama. Hal ini menunjukkan bawa jumlah
barang yang dikonsumsi akan berubah ketika terjadi perubahan harga. Perubahan
harga sebuah barang menyebabkan perubahan terhadap permintaan barang lain. Konsumen
yang rasional akan membeli banyak barang yang harganya lebih rendah dan begitu
pula sebaliknya (Leung et al. 2014).
Perubahan harga suatu barang akan mengubah nilai guna
marjinal per harga barang dari barang yang mengalami kenaikan tersebut. Jika harga
mengalami kenaikan, nilai guna marjinal per harga akan menjadi semakin rendah.
Misalkan harga barang B bertambah tinggi maka MU barang B/PB akan menjadi lebih kecil dari nilai
awal. Jika dibandingkan dengan harga barang-barang lainnya yang tidak mengalami
perubahan (harga barang A tetap), maka dapat dilihat keadaanya yaitu:
MU barang A > MU barang B
PA PB
Nilai guna barang A akan bertambah tinggi jika konsumen
memilih membeli lebih banyak barang A dan mengurangi pembelian barang B. Hal
tersebut menunjukkan bahwa jika harga naik, permintaan terhadap barang B yang
mengalami kenaikan harga akan menjadi semakin sedikit. Begitu pula dengan
keadaan harga suatu barang mengalami penurunan. Penurunan harga mengakibatkan
barang tersebut memiliki nilai guna marjinal per harga yang lebih tinggi
daripada nilai guna marjinal per harga dari barang-barang lainnya yang harganya
tetap. Oleh karena itu, pembelian barang tersebut akan memaksimumkan nilai guna
sehingga permintaan barang menjadi bertambah banyak apabila harganya bertambah.
Efek Pendapatan
Kenaikan
harga menyebakan pendapatan riil menjadi semakin sedikit jika pendapatan tidak
mengalami perubahan. Kemampuan pendapatan yang diterima untuk membeli
barang-barang menjadi bertambah kecil dari sebelumnya. Oleh karena itu,
kenaikan harga menyebabkan konsumen mengurangi berbagai jumlah barang yang
dikonsumsinya, termasuk jumlah barang yang mengalami kenaika harga. Begitu pula
jika harga suatu barang mengalami penurunan. Penurunan harga menyebakan
pendapatan riil menjadi semakin besar jika pendapatan tidak mengalami
perubahan. Dengan demikian, efek perubahan harga kepada pendapatan ini disebut
sebagai efek pendapatan.
Membentuk Kurva
Permintaan
Kurva
permintaan dapat diterangkan melalui teori nilai guna. Misalkan konsumen
mengkonsumsi hanya dua jenis barang, yaitu makanan dan pakaian.
MU barang m = MU barang p
Pm Pp
Pada kondisi keseimbangan awal, harga makanan adalah
Rp10000 dengan jumlah unit makanan yang dibeli sebesar 10 unit. Diasumsikan
seterusnya harga pakaian tetap, sedangkan harga makanan turun menjadi Rp5000.
MU barang m > MU barang p
5000 Pp
Konsumen akan menambah konsumsi makanan menjadi 15 unit
sehingga keseimbangan dapat tercapai. Kemudian harga makanan naik menjadi
Rp15000 sedangkan harga pakaian tetap.
MU barang m < MU barang m
15000 10000
Perubahan tersebut menyebabkan:
MU barang m < MU barang p
15000 Pp
Ketidakseimbangan tersebut menyebabkan konsumen
mengurangi kuantitas makanan yang dibelinya dan mencapai keseimbangan ketika
membeli 5 unit makanan. Kesimpulan contoh kasus diatas yaitu pada harga Rp15000
sebanyak 5 unit akan dibeli. Pada harga Rp10000 sebanyak 10 unit akan dibeli. Pada
harga Rp5000 sebanyak 5 unit akan dibeli. Berdasarkan kesimpulan di atas,
diperoleh kurva permintaan yang menunjukkan sifat permintaan, yaitu ketika
harga naik maka jumlah barang yang diminta meningkat. Kurva permintaan makanan
dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Permintaan konsumen terhadap makanan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar